Suasana di foodcourt sebuah pusat perbelanjaan terbilang ramai. Meskipun tidak ber-suasanaseger, namun banyaknya abg yang berlalu-lalang membuat mata serasa segar bagi yang memandangnya.
“Woi, Diana, sini!”
Diana melangkah diantara deretan meja mencoba mencari sumber bunyi tersebut. Di arah kiri depannya ada sebuah meja yang ditempati tiga orang perempuan yang tidak berkalung sorban, usianya kira-kira setengah baya. Salah-seorang dari ketiga wanita itu melambaikan tangannya ke arah Diana.
“Gimana kabarnya?”
“Iya nih sombong bener.”
“Kok lu keliatan seger sih?”
Tiga suara yang keluar dari tiga mulut yang berbeda langsung menyambut begitu Diana duduk. Diana pun tersenyum sebelum menjawabnya.
“Lah kayak gak tau aja lu lu pada juga kan sibuk-sibuk.” Diana mengambil gehu yang ada di meja lalu makan sambil meneruskan pembicaraan. “Gila lu ya, di tempat kayak gini malah beli gehu.”
“Kan dari tadi kita mau pesen juga nungguin lu dulu. Dari pada bengong yang pesen gehu dulu. Lagian lu juga doyan kan.”
“Kok lu keliatan beda sih?”
“Iya, gw mau ajak anak liburan entar. Biar gak jenuh.”
“Kok badanlu agak beda sih.”
“Iya dong. Gw sering diajakin maen wii sama anak sih.”
“Apaan tuh wii?”
“Itu gim yang pake remot, terus kita maininnya sambil gerak-gerak.”
“O ya. Anak lu kan tukang maen gim.”
“Terus, lu keliatan lebih semangat, gak kayak dulu murung terus sih?”
“Iya dong. Gw kan kini jadi lebih deket sama anak. Apalagi kini tuh anak mau nerusin kuliah.”
Ketiga teman Diana saling pandang mendengar penjelasannya.
“Lah, kayak kita bloon aja.”
“Eh, sumpah deh, gw lagi gak deket sama siapa-siapa.”
“Lu liburan gak mau ngajak kita nih?”
“Enggaklah. Kan sama anak gw. Sebelum lu pade nanya, gw gak seranjang ntar sama anak.”
“Iya lah. Siapa tahu ntar ada laki biar lu bisa bebas.”
“Gak gitu juga kali.”
“Lu beli apaan tuh?”
“Biasa, buat ntar di pantai.”
“Pake aja trus tunjukin ke anaklu biar dia seneng.”
“Apaan sih? Yang ada juga dia malah lari ketakutan,” kata Diana sambil mengambil belanjaannya lalu bangkit.
“Eh, lu mau ikut gak ntar malam sabtu. Biasa kumpul di tempatnya Dewi.”
“Iya. Ntar gw cek dulu kalau anak gw gak keberatan sih,” kata Diana sambil melangkah pergi menjauh.
Diana merenung di rumahnya sambil memikirkan ide yang didapat dari percakapan dengan temannya tadi. Diana jadi ingin mencoba menjadi model pakaian di depan anaknya sendiri. Saat sedang asik merenung, tiba-tiba terdengar suara seperti pintu yang diketuk. Diana pun meraih daster, memakainya lalu membuka pintu.
“Eh, elu Wi, masuk.”
Diana mundur agar temannya, Dewi, bisa masuk. Dewi masuk, melihat Diana yang hanya memakai daster lalu mengelus tangannya.
“Lu pake ginian doang?”
“Iya, kan nyobain yang baru.”
“Gimana kalau anaklu ngeliat?”
“Kan ntar juga pasti ngeliat kalau jadi liburan.”
“Bagus.”
“Mau minum apa? Bikin aja sendiri.”
Diana dan Dewi pun melangkah menuju dapur. Dewi memilih membuat kopi. Dapur pun langsung dipenuhi aroma biji kopi pilihan.
“Gimana Dana di tempatlu?”
“Biasa aja. Maen sama anak gue.”
“Gw udah lama kenal lu sama david. Tapi gw perhatiin sekarang kayaknya lu sama anaklu berubah deh. Padahal dah lama David meninggal. Ada apa sih?”
“Lho, emangnya kenapa?”
“Udahlah, gak usah bohong.”
“Iya deh. Kan sebentar lagi ada rencana mau liburan.”
“Dari dulu anak gw males kalo disuruh belajar. Cuma akhir-akhir ini semenjak anaklu sering ngajarin anak gw, kayaknya anak gw jadi agak pintar dah. Lu apain tuh anaklu?”
“Ya biasa. Gw ingetin mau jadi apa ntar kalau males terus.”
“Bohong lu. Gw aja bilang kayak gitu malah gak ngefek.”
“Ya mau bagaimana lagi. Mungkin apa gw juga gak tau.”
“Ya elah, malah maen rahasia-rahasiaan. Tapi terserah dah, yang penting gw seneng liat lu kembali ceria kayak gini. Semenjak laki lu meninggal, kayaknya lu ikutan meninggal. Tapi kini, lu kembali lagi gila seperti dulu. Kok bisa gitu sih setelah sekian lama?”
“Gila lu ya. Ya gw kagak ikut suami gw lah. Gw cuma fokusin jadi emak yang baik bagi anak gw.”
“Bener nih. Dulu lu berubah jadi pendiam.”
“Ya mungkin waktulah yang ngerubah gw. Ntar deh liat aja jumat nanti.”
“Mah!” suara Dana menggelegar.
“Di sini nak. Lagi sama mamanya Dewo,” teriak Diana.
“Mah, ntar liburannya yang lama yah. Eh, Bu Dewi.”
“Eh Dana.”
“Sekalian aja pindah kerja dan kuliah di sana,” canda Diana.
“Siap mah. Ntar Dana cari infonya di internet,” Dana terdengar serius.
“Mama bercanda sayang.”
Dana tak menjawab namun malah bergegas ke kamarnya. Diana melihat wajah Dewi yang menunjukan ekspresi aneh.
“Apa lu?”
“Kalau gw pake baju kayak lu, pasti anak gw melototin terus. Tapi si Dana malah gak tertarik tuh. Lu apain dia?”
“Biasa aja lah. Lagian cuma baju gini kok. Ntar juga kalo jadi liburan mungkin liat lebih dari ini.”
“Apa lu mau telanjang?”
“Gak gitunya juga kali.”
“Lu kembali gila. Pasti ada yang lu tutupin dari gw.”
“Lah, lu malah curiga sih?”
Beberapa saat kemudian Dewi berusaha menanyakan kepenasarannya. Namun yang Dewi dapat hanya kekecewaan. Akhirnya Dewi memutuskan untuk pulang.
Dana muncul tepat saat telepon berbunyi.
“Bu Dewi ngapain mah?”
“Biasa,” kata Diana lalu mengangkat telepon. “Halo.”
“Na, ini Yanti. Seneng liat kamu kembali ceria.”
“Ya, kayak dulu lagi.” Diana menyadari anaknya sedang menatap dirinya dari atas ke bawah sambil mengangkat alisnya. Diana lalu menjepit telepon dengan bahu, lalu mulai melepas pakaiannya. Pakaian itu lalu dilemparkan ke sofa.
“Gini, gw seneng lu mau ikut ngumpul ntar. Tapi …”
“Tapi apa?”
“Si Chip jadi ngamuk nih denger anaklu mau liburan. Jadi kalau lu gak keberatan, tolong ajak anak gue dong. Kalau lu setuju, ntar gue bayarin akomodasinya.”
Diana melihat Dana meninggalkan ruangan.
“Gue sih gak keberatan, tapi mesti tanya si Dana dulu. Ntar gw kabarin lagi keputusannya.”
“Oke, makasih ya Na.”
Diana menutup telepon berbarengan dengan munculnya Dana sambil membawa kamera digital dan kemeja putihnya.
“Mau diapain tuh baju?”
“Mah, makannya mau pesan gak, sekalian mama jadi model kamera Dana?”
“Iya deh terserah kamu. Tapi mau apain tuh baju?”
“Jadi ntar pas tukang makanannya datang, mama ambilnya sambil pake ini saja.”
“Apa?”
“Iya mah. Sekarang kan lagi dingin. Kasian tuh tukang anter makanan. Biar jadi anget dikit. Biar hot gitu loh.”
“Kenapa kamu dulu gak negosiasikan tentang nilai? Biar mama gak kena masalah kayak gini.”
“Lho, kan mama yang pertama mulai. Dana hanya belajar dari yang terbaik dong mah.”
“Gak usah muji deh.”
“Lah mama. Jadi gimana mah?”
“Tapi dikancingin ya, setuju?”
“Hanya tiga kancing dari paling bawah, setuju.”
Diana menatap kemeja, “Mama tinggal membungkuk lalu orang-orang pada ngedeketin dah.”
“Jangan membungkuk dong mah.”
“Iya deh. Tapi kalau yang nganternya cewek, yang bayarnya kamu. Tapi hanya pake celana pendek.”
“Kalau gitu, Dana setuju asal mama cuma kancingin dua kancing saja.”
“Baiklah. Dua kancing, tapi kalau yang ngirimnya cewek, kamu yang mesti ngambil sambil goyangin pantat kamu.”
“Kalau gitu sih, mama jangan kancingin baju mama ntar kalau cewek Dana yang ambil sambil goyang.”
“Baiklah. Asal adik kecilmu mesti keliatan… Plus kamu ajak mama ntar main keluar.”
“Setuju.”
“Gak usah banyak senyum. Dulu juga papamu pernah bikin mama kayak gini, sampai handuk mama lepas saat bayar.”
Diana lalu memikirkan menu yang akan dipesannya. Setelah yakin Diana menyambar kemejanya.
“Kamu punya niat busuk apa lagi sama mama?”
“Gak ada niat busuk, cuma apa mama gak kepanasan pake kemeja di dapur?”
“Dasar kamu. Mama mandi dulu ah… biar nanti seger pas liat kamu show.”
Diana mandi namun tak berlama-lama. Diana menuju kamar anaknya lalu mendorong pintu dengan kakinya hingga terbuka. Terpampanglah Diana yang sedang berdiri, memakai kemeja namun tiada satupun yang dikancingkannya.
Dana langsung menyambar kamera lantas memotret.
“Mama makin hari makin cantik aja.”
“Ngegombal aja kamu nak.” Namun Diana malah terlihat berseri-seri. Diana lalu memutar tubuhnya membuat kemeja itu seolah melayang.
“Apa wanita diajari cara khusus agar bikin pria gila mah?”
“Tentu tidak sayang. Mungkin memang sudah insting,” kata Diana sambil berbalik membelakangi anaknya. Diana lantas menarik ujung kemejanya ke atas hingga memperlihatkan pantat, lalu menggoyangkannya. Diana menyeringai saat mendengar bunyi klik. Diana malah berharap agar pengantar makanan adalah pria.
Setelah beberapa menit berlalu ibu dan anak itu pun ke dapur.
“Nah, tukang foto, kamu mau mama gimana?”
“Coba mama duduk dikursi sambil menyilangkan kaki. Terus tangan mama taruh di lutut.”
Diana menuruti. Klik.
“Sekarang coba mama rebahan di meja sambil tangan mama ke depanin.”
Diana menuruti. Klik. Saat Diana bangkit, satu payudaranya terbuka membuat Dana menyesal tak mengambil gambar pas momen itu.
“Sekarang coba mama berdiri dekat kompor, tarik baju mama ke bawah dan tatap kamera.”
Diana menuruti. Klik.
“Sekarang …” suara Dana terpotong oleh ketukan di pintu.
Diana berbalik memperlihatkan seluruh tubuh bagian depan karena kemejanya hanya tergantung di lengan. Dana menyadari putting mamanya agak mengeras. Dana dan mamanya pun saling tatap. Dana lalu mengabadikan momen itu sebelum ketukan berbunyi lagi. Mereka lalu bergegas ke ruang depan. Dana mengintip sementara Diana menunggu.
“Yes. Yang nganternya cowok mah.”
Diana menyeringai, membetulkan kemeja dan mengancingin dua kancing terbawah.
“Dasar kamu hoki. Siapin uangnya!”
Dana mundur lalu mengeluarkan uang dari dompetnya sambil melihat mamanya mendekati pintu. Sebagian susu mamanya terlihat namun tetap tak menunjukan areolanya.
“Maaf ya tante baru aja keluar dari kamar mandi.”
“Ng… Ng… Man… Tat… eh… Nggggaakkk apa… tanttte.”
Pintu lalu dibuka dan makanannya langsung disambar oleh Diana. Saat Dana mendengar suara orang terkesiap, Dana tahu pasti ada yang terlihat. Diana lalu mundur dan menyerahkan makanan ke anaknya. Entah kenapa Dana malah melihat wajah mamanya seperti senang. Dana menyerahkan uang ke mamanya yang langsung diraihnya sambil berseringai.
“Ntar mama benerin,” bisik Diana ke anaknya. “Sekarang waktunya kamu pergi. Sembunyi!”
Diana melangkah mundur lalu berbalik sambil mencoba menutup kemeja dengan tangannya. “Makasih ya. Nih uangnya,” kata Diana yang langsung diambil oleh pengantar makanan. Pintu pun ditutup. Diana lalu berbalik dan bersandar ke pintu. Kemejanya naik turun seirama dengan dadanya yang naik turun. Lalu Diana menatap anaknya.
“Mama jadi bening.”
“Huh?”
“Udahlah, ikutin mama.”
Diana melangkahkan kakinya ke dapur. Lalu Diana mengambil panci kecil untuk merebus mie yang memiliki pegangan, menduduki meja terus melebarkan pahanya. Panci itu lalu diposisikan agar menutupi selangkangannya.
“Mama tegang bener..”
Panci itu menyentuh sebagian kecil lipatan daging antara dua kakinya membuat seluruh tubuh Diana menegang. Panci itu pun terlepas dan jatuh ke lantai. Satu tangan Diana meraih dan menyentuh rambutnya mengiringi getaran tubuhnya.
“Ooooohhhh.”
Diana terus bergetar hingga beberapa saat. Kemudian diam. Perlahan-lahan Diana turun dari meja dan berdiri. Diana menatap anaknya. Seluruh tubuh Diana dipenuhi keringat. Diana lalu mendekati anaknya, melebarkan tangan dan memeluknya. Tiadanya kancing yang terpasang membuat payudara Diana menekan dada anaknya.
“Nikmat sekali orgasme mama barusan. Kamu gak lupa memilmkannya kan?|
“Oh iya. Aduh sial.”
Diana tertawa tanpa melepas pelukannya. “Udahlah, besok kita pesen apa lagi?”