“Oh Tuhan, menjijikkan” Diana terhenti menatap ke kamar anaknya.
Di monitor terlihat film Diana sedang mendorong dildo ke pantatnya. Diana lalu masuk dan duduk di kasur anaknya.
“Sampe diperbesar gitu? Tunggu, mama punya tanda di sana?” Diana lalu berputar menatap pantatnya sendiri.
Ibu dan anak itu menonton video dalam diam. Hingga dildo keluar dan sang ibu menjatuhkan diri di kasur.
“Menjijikan yah,” kata Diana sambil menutup wajah dengan tangan, namun matanya mengintip dari sela-sela jemari.
Dana tertawa, “Hahaha, kalau liat film horror juga mama bilang takut, tapi sambil ngintip.”
“Orang-orang mestinya jangan liat orang lain terbunuh; apalagi melihat mama mainin anus mama pake dildo,” kata Diana sambil melempar bantal ke anaknya. “Pokoknya, kalau sampai ada yang melihat rekaman ini, mama bersumpah akan membunuhmu.”
“Baiklah Nona Cerewet. Akan saya matikan,” kata Dana lalu menutup media playernya.
“Ya tuhan, gambar mama lagi telanjang kok dijadiin latar belakang sih? Gimana kalau temanmu melihat? Udahlah, gak akan ada yang lihat rekaman mama karena sekarang kamu akan mama bunuh.”
“Tenang mah. Kan ada dua akun. Yang pertama kalau yang log innya Dana. Sedangkan kalau temen pake akun umum.”
Diana melihat pantatnya memenuhi hampir seluruh layar dengan dildo menancap dan
Diana sembur. Dia melihat gambar pantatnya mengisi sebagian besar layar dengan setengah penis karet mencuat dari anusnya dengan kepala hanya terlihat di bahu di latar belakang.
“Kok pake gambar yang itu sih? Pantat mama jadi terlihat super besar.”
“Kan gambarnya juga cuma sedikit mah. Tapi Dana siap fotoin lagi kok.”
“Tidak. Yang terakhir aja bisa jadi masalah.”
“Tapi mah, hasil kamera ini adalah hasil terindah yang pernah Dana lihat.”
“Bercanda aja. Mama sih lihatnya kayak lihat film porno tua. Hanya saja tanpa musik latar.”
“Kalau mama mau Dana bisa tambahin musik kok mah.”
“Bukan gitu maksud mama,” Diana menatap monitor lagi lalu bergidik. “Jorok bener gambarnya, kamu kok bisa tahan melihatnya sih?”
“Mah, Dana tahu mama sudah empat puluh tahun lebih, tapi mama masih cantik. Ditambah susu dan pantat mama yang montok.”
“Dasar kamu aneh,” Diana tertawa, “pokoknya gambar itu mesti dihapus!”
Dana melambaikan tangan tanda tidak sambil menyeringai pada webcam.
“Tidak, tidak, tidak. Kamu udah bikin mama gak pake baju. Kamu udah liat mama sepuasnya, bahkan kamu udah jadiin mama bintang film porno…”
“Kamera kan ide mama.”
“Jangan ngeles.”
“Iya. Kayaknya nyonya terlalu banyak protes.”
“Pokoknya hapus.”
“Enggak”
“Dana dapet apa kalau ngehapus ini?”
“Apa? Kamu mau sesuatu? Dasar mesum!”
“Bukankah mama yang pertama ngajarin tawar-menawar!”
“Mama sungguh tak percaya ini. Baiklah, kamu mau apa?”
“Foto lain lagi.”
“Iya, tapi sedikit.”
“Tapi Dana suka gambar latar ini mah. Banyak dong.”
“Gak adil itu. Masa satu gambar ditukar banyak gambar,” Diana memainkan suaranya agar terdengar seperti lebih simpati.
“Suaranya gak usah dibuat-buat mah.”
“Oke, terus mama dapet apa dong?”
“Hah?”
“Kok malah bengong sih? Kamu kan pintar negosiasi.”
“Emang apa yang bisa Dana kasih?”
Diana ingat saat memergoki anaknya yang sedang memegang kelaminnya. Diana lalu menyeringai ke anaknya.
“Wajah mama kok aneh gitu sih?”
“Inilah mamamu, hehehe…”
Dana menyeringai, namun Diana menunjukkan telunjuk ke wajah anaknya.
“Kamu ingin ngambil banyak foto mama demi menghapus foto yang gak mama suka dan …”
Diana menghentikan sebentar suaranya, Dana menatap cemas.
”… kamu masturbasi hingga keluar sambil diliat mama.”
“Apa?!? Tidak mungkin!”
“Bener nih gak setuju?”
“Tapi, Dana ambil banyak foto mama dan juga film baru.”
“Film apa?”
“Seperti yang pertama, cuma kali ini sambil nungging.”
“Kamu memang aneh. Doyan bener sama pantat.”
“Kan gara-gara mama juga. Siapa suruh liatin pantat montok mama.”
“Dasar aneh.”
“Jadi, Dana masturbasi di depan mama, terus mama yang nentuin latar belakang monitor. Mama beri Dana film baru dan foto baru yang banyak.”
“Maksud banyak?”
“Sampai Dana bosan.”
“Emangnya kamu bisa bosan?”
“Dana kan masih muda mah.”
“Baiklah. Mama akan obok-obok pantat mama sementara kamu filmkan dan fotoin. Tapi sebelumnya kamu masturbasi dulu, telanjang tentunya.”
“Tapi Dana pasti butuh rangsangan dulu dong mah. Mama bikin film aja dulu lalu Dana mulai lepas pakaian.”
“Baik, bikin film dulu tapi harus telanjang.”
“Baik. Tapi kalau libur kita pergi liburan mah.”
“Apa? Banyak bener keinginanmu. Kenapa gak kamu pikirkan dulu sebelum mama mulai melepas pakaian mama?”
“Kan mama yang bilang ‘lihat pantat mama agar Dana bisa berubah.”
“Ya, tapi kini pantat mama yang terus dilihat, malah diobok-obok.”
Dana mulai menghitung memakai jemari, “Ayo kita hitung, telanjang, masturbasi, gambar latar, film anal baru, banyak foto, liburan dan bersedia difilm lagi nanti.”
“Kamu pasti cocok kalau kerja jadi politisi.”
“Enggak deh. Jadi gimana, Telanjang, masturbasi, gambar latar, film, foto, liburan, setidaknya dua film lagi.”
“Menyebalkan.”
“Bener gak mau?”
“Mama muak sama per-pantat-an.”
Dana lalu memutar kepalanya dari yang tadinya menghadap monitor menjadi menghadap mamanya.
Diana melihat lagi gambar pantatnya yang dijadikan gambar latar, lalu bergidik.
“Baiklah, setuju.”
Ibu dan anak itu saling tatap. Dana mengangkat alisnya, Diana menggeleng. Keduanya lalu berdiri. Dana melingkarkan tangan ke bahu mamanya sambil berjalan ke luar.
“Lebih baik bikin filmnya di ruang tv aja. Biar pencahayaannya lebih jelas dan latarnya sofa hitam.”
“Maksudnya?”
“Biar Dana lebih mudah beresin sofanya mah.”
“Mama benci kamu,” kata Diana sambil memukul lengan anaknya.
“Bukankah anak-anak kebanyakan dibenci mamamnya. Dana kan cuma kasih kesempatan mama main film berkualitas.”
Diana menghentikan langkahnya lalu menatap anaknya.
“Apalagi?”
“Berkualitas?”
“Mama masih punya handycam kan?”
“Handycam? Jangan!”
“Jadi mama mau film mama terlihat seperti film porno jadul? Sekalian aja tambah musik latar murahan.”
“Mama makin benci kamu.”
“Terserah mama, mau terlihat kuno atau cantik?”
“Sekalian aja mama pake make-up, minyak zaitun dan high heel.”
“Ide bagus tuh mah!”
“Ya, tapi mama hanya bercanda. Dasar anak aneh.”
“Gak bosan mah bilang gitu?”
“Anak aneh!” kata Diana sambil menunjukkan telunjuk ke dada anaknya.
“Mama makin galak sih? Lagian, kalau pake make-up, minyak zaitun dan high heel kan Dana jadi bisa nyeting kameranya dulu. Ntar jadinya pasti bagus mah. Kalau tidak, mungkin gambar latarnya takkan berubah mah.”
“Baik, make-up, minyak zaitun dan highheel. Biar sekalian filmnya menang kontes film.”
Diana pun melangkah menuju kamarnya sementara Dana diam berpikir kapan terakhir kali memakai handycam.
“Hei nak.”
Dana melihat arah suara yang ternyata di pintu. Mamanya sedang berdiri membelakangi, lalu rukuk dan menggoyangkan pantatnya sambil berkata goyang pinggul, goyang pinggul. Setelah itu mamanya tertawa lalu menutup pintu.
“Malah mama yang bilang Dana aneh.”
Dana tersenyum. Pasti akan menyenangkan nanti, batinnya.
Setelah mandi, Diana duduk di kasur sambil mengeringkan rambut. Diana merasa senang dengan apa yang akan terjadi namun Diana juga merasa tak senang akan sikap anaknya yang mulai arogan. Diana merasa sudah waktunya mengajarkan anaknya bahwa kalau bermain api bisa berakibat kebakaran.
++++
Setengah jam kemudian Dana hampir selesai menyiapkan tempat. Di sisi sofa telah dipasangi lampu yang mirip di studio foto hingga membuat pencahayaan pada sofa sangat terang. Sedang hampir satu meter di depan sofa terdapat tripod yang dipasangi handycam. Saat mengecek handycam, Dana mendengar langkah mamanya datang.
“Cantiknya!”
Rambut Diana masih basah. Wajahnya memakai make-up yang bahkan belum pernah terlihat secantik ini oleh Dana. Tubuhnya berkilau dan mengeluarkan aroma baby oil. Tangan kanan Diana memegang dildo. Tak lupa kakinya memakai highheel.
Diana melihat ruangan yang telah disiapkan anaknya dengan takjub, “Kamu siapkan ini sendiri?”
Untuk kali pertama Diana melihat betapa anaknya sangat terpesona hingga tak bisa berkata-kata. Diana berjalan sambil mengelus dadanya, lalu elusannya turun ke pantat hingga pantat itu duduk menyentuh sofa hitam.
Pantat Diana yang berminyak kini duduk di sofa. Satu kaki dibuka lebar hingga tumitnya mengenai sisi sofa. Sedangkan kaki satunya dipanjangkan ke bawah.
Nafas Dana tercekat melihat memek mamanya yang telah bersih tiada rambut sehelai pun. Jelas terlihat lipatan memeknya. Apalagi dengan olesan baby oil membuatnya memantulkan cahaya.
Melihat anaknya terpesona, Diana mengambil dildo dan memposisikan di vaginanya, namun tanpa melakukan penetrasi.
“Jangan salahkan mama kalau kamu sampai lupa ngerekamnya. Serangan di Pantat Tua Mama jilid Dua.”
Begitu Diana selesai berbicara maka dildo itu langsung berusaha memasuki pantat Diana. Beberapa bagian sofa kini telah dipenuhi minyak yang menetes dari tubuh Diana.
Dana langsung memainkan kameranya sambil terus membasahi bibir dengan lidahnya. Tangannya begitu sibuk memainkan tombol yang ada di handycam.
Diana mencoba tersenyum di sela-sela erangan yang terus keluar dari mulutnya.
“Kamu tuh jangan cepat-cepat matiin kameranya terus pergi. Siapa tahu kali ini bisa ngerekam saat mama bersihin dildo pake mulut mama seperti yang terakhir.”
Mulut Dana ternganga mendapati adegan yang dilewatinya.
Diana perlahan menarik dildo dari pantat lalu mendekatkan ke wajahnya.
“Kayak gini nih.”
Diana lalu memasukan dildo ke mulut dan memainkannya. Tak lupa juga menjilatinya.
Dana merasa penisnya makin keras dan cairan pelumasnya pun keluar membasahi celananya.
“Aduh,” kata dana sambil mengelus celananya.
Diana melepas dildo di mulutnya lalu tertawa. Dildo itu kembali ditempatkan di pantatnya. Diana terus memainkan dildo sambil berbicara.
“Dasar anak muda.”
Setelah beberapa menit, Diana mengangkat lututnya hingga mendekati dada membuat pantatnya makin terlihat jelas. Kini kedua tangan Diana sibuk memainkan dildo di anusnya.
“Unh, unh, unh, unh AHHHHHHH.”
Diana menjerit sambil berusaha memasukan dildo sampai mentok. Kakinya bergoyang, tubuhnya kejang hingga beberapa detik kemudian tubuh Diana pun berhenti gemetaran. Kakinya terjatung lunglai ke bawah.
Setelah beberapa detik, Diana mencabut dildo dari pantat lalu mendekatkannya ke wajah. Dildo itu dijilati Diana lalu dimasukan ke mulutnya. Beberapa saat kemudian Diana asik memainkan dildo di mulut hingga merasa cukup.
“Jadi berantakan gini yah.”
“Iya, mama sih nakal.”
Diana tertawa, “yang penting tugasmu tuh ntar bersihin ini.”
Diana melihat keadaanya lalu bangkit berjalan mendekati anaknya.
“Nah, anak aneh, perjanjian pertama kita telah mama laksanakan.”
Dana langsung mengangguk.
“Sayang sekali. Padahal mama udah siap ronde berikutnya. Nih deh mama kasih sedikit inspirasi buat kamu.”
Diana lalu memeluk anaknya membuat pakaian anaknya kini basah oleh baby oil. Paha Diana juga diangkat untuk membasahi sekitar pinggang dan celananya.
“Kayaknya bajumu perlu dicuci tuh.”
Dana mengerang. Diana menepukkan tangannya.
“Baiklah pejantan muda. Mama beri kamu sepuluh menit untuk siap-siap menghibur mama.”
Dana pun melangkah menjauh menuju kamarnya. Namun saat baru setengah jalan, terdengar suara mamanya.
“Mama taruh baby oil di lemarimu nak.”
Diana menyeringai. Pasti malam ini bakalan seru, pikirnya.
Dana duduk di kasur dengan hanya memakai celana pendek sambil gemetaran. Dana memang jadi terbiasa melihat mamanya telanjang, namun Dana merasa tak nyaman jika harus ikutan telanjang juga. Dana menyadari memang tak adil jika dirinya tetap berpakaian, namun toh bukan salahnya. Dana tak pernah melihat mamanya seliar ini, senakal ini.
Dana merasa hubungannya dengan mama tak pernah sedekat ini. Dana memang mencintai mamanya, sebagai anak, juga menghirmatinya. Dana sungguh merasa beruntung dengan perjanjian ini, tapi kebenaran yang disampaikan sendiri oleh mama merupakan hadiah tersendiri. Telah terlalu jauh sejak kali pertama Dana melihat mamanya telanjang di dapur.
Dana tersenyum sendiri saat berdiri lalu melepas pakaian terakhirnya, celana pendek. Setelah itu Dana meraih baby oil yang ada di lemarinya.
Diana duduk di sofa menunggu. Keheningan yang ia rasakan sedari tadi membuatnya sampai pada kesimpulan bahwa anaknya mungkin merasa takut dan atau tidak berani. Satu kosong untuk mama, pikirnya. Tiba-tiba terdengar dentuman suara musik yang kemungkinan berasal dari kamar anaknya. Cahaya tiba-tiba menghilang menjadikan kegelapan yang muncul menyelimuti.
Tiba-tiba ada sinar. Setelah ditelisik oleh mata Diana, sinar itu mengarah ke kepala kontol. Ternyata anaknya memegang dua senter yang kini diarahkan ke kontolnya sambil berjalan mendekat. Dana pun sampai di depan sofa yang diduduki mamanya lalu menggoyangkan pinggulnya. Puas bergoyang, tangan kanannya melempar senter lalu memegang kontolnya.
“Mah, kok Dana jadi gini sih?”
“Jangan berhenti nak. Lagian gak apa-apa kok jadi gini juga.”
“Ini dia mah. Siap membuat mama terangsang.”
“Whoo hoo, goyang nak!” Diana tertawa.
Dana memaju mundurkan pinggul sambil tangannya mengocok kontol. Mata Diana berbinar melihat anaknya mengocok kontolnya sendiri. Tak butuh waktu lama Dana pun mengejang seiring dengan menyemburnya sperma yang mendarat di kaki Diana, sofa dan di lantai. Setelah orgasme tubuh Dana berhenti mengejang namun saat akan bergerak kakinya tersandung membuat Dana jatuh terduduk di sofa di sebelah mamanya.
Diana bertepuk “Hebat, luar dari pada biasa!”
Dana melambaikan tangannya, “santai mah.”
Diana dan Dana saling memangang, lalu keduanya menyeringai.
“Mah, maafin Dana yah udah ngedorong mama terlalu jauh hingga jadi gini. Dana bener-bener menyesal mah.”
“Ya, kamu memang nakal. Tapi mama seneng kamu berani mengakuinya. Lagian mama juga tak terlalu suka per-anal-an.”
“Ya gak apa-apa kok mah asal perjanjian kita yang lain tetap berjalan Dana gak keberatan kok.”
“Mama gak keberatan dengan hal baru, asal tak menyakitkan bagi kita.”
Diana melingkarkan tangan ke bahu anaknya lalu memeluknya dari samping membuat tubuh ibu dan anak itu menempel ketat.
“Sial mah, Dana menyentuh mama.” Dana terlihat panik.
“Ini sih sikap ibu dan anak yang saling mencintai, meski tanpa pakaian.”
Mereka pun menatap tubuh mereka yang penuh baby oil.
“Kok jembut mama dibabat habis sih?”
“Mama hanya ingin memberikan yang terbaik bagi kamu. Lagian kamu tuh bener-bener maksa mama sih.”
Diana dan Dana menatap selangkangan Diana. Seperti berjanji, keduanya sama-sama berbicara “kayaknya jelek deh.” Menyadari kesamaan kata yang terucap, keduanya saling pandang lalu tertawa.
“Untungnya ntar tumbuh lagi. Sekarang kamu tahu kan mama juga bisa mencoba hal-hal baru. Kalau kamu gimana? Mau mulai telanjang di rumah gak?”
“Gak tahu mah. Kayaknya aneh deh.”
Diana memegang payudara lalu mengangkat susunya.
“Mama tak bisa mengatakan bagaimana rasanya hidup dengan selalu menunjukan ini padamu. Mama juga senang kalau kamu gak mau ikut-ikutan. Tapi mama tak akan keberatan kok kalau kamu berubah pikiran.”
Diana dan Dana menatap kontol Dana. Mereka berdua melihat betapa kontol itu kini mulai kembali mengembang.
Begitu muda begitu jantan, pikir Diana.
Diana lalu mendorong anaknya bangkit.
“Kamu bersih-bersihnya ntar mama bantu deh.”
“Setuju,” seringai Dana.