Selesai mandi mama berkata, “pake handuk terus pake pakaian.”
Langsung kupakai handuk biar kering. Mama melihat kontolku yang lemas.
“Bersihin yang bener kontol dan testisnya,” aku kaget mama berkata seperti itu. Aku ya menurut saja membersihkan hingga kering dengan anduk. Sekilas kulihat mama menjilati bibir lagi. “Pake aja bajumu, gak usah pake celana. Abis itu kita sarapan.”
Aku melangkah telanjang ke kamar, sementara mama masih di kamar mandi. Kuraih baju di kursi. Saat melewati cermin, aku bercermin dulu. Tubuh ini rupanya telah duakali menikmati memek mama. Aku jadi percaya diri. Aku ingin lebih. Akhrnya kupakai baju dan turun ke dapur. Aku makan yang ada. Sambil makan aku memikirkan apa lagi yang akan mama pakai.
Aku kecewa melihat mama memakai daster handuk warna putih. Tangannya memegang map warna biru. Mama tak menatapku namun langsung sarapan. Suasananya mendadak sunyi karena aku pun memilih diam.
Setelah makan, mama menyeduh kopi. Setelah itu baru mama menatapku.
“Ingat nak, apa yang terjadi terjadilah. Hanya kamu gak boleh bicara sama siapa pun. Paham.”
“Iya mah,” kataku serius.
“Kamu menikmatinya gak?” pertanyaan mama mengejutkanku.
“Tentu saja. Mama kok nanyanya aneh sih.”
“Mama hanya penasaran, apa kamu gak merasa bersalah. Apalagi yang kita lakukan bener - bener salah.”
“Iya sih mah. Tapi saat melakukannya malah terasa alami. Natural kalau kata bule.”
“Mama seneng dengarnya,” katanya tegas lagi. “Mama hanya ingin memastikan. Seharusnya mama bisa menahan diri. Tapi seminggu ini karena dokter suruh mama bantu kamu, liat tubuhmu, denger kalau kamu suka tubuh mama… kamu telah membangunkan gairah yang telah padam semenjak mama cerai,” mama bicara sambil menatap cangkir kopinya.
“Tapi kamu mesti ingat, kita belum mendapat sampel hari ini. Jadi sebaiknya kita tak melakukannya lagi. Apalagi kamu gak bisa nyabut sebelum keluar.”
Aku kecewa, tapi hanya bisa mengangguk.
“Mama bawa catatan sesimu. Kamu tau kan tiap sesi selalu mama catet.”
Aku menagguk lagi. Namun tak kulihat lembar catatan itu. Yang kulihat hanyalah map. Lantas mama menarik beberapa lembar dari map tersebut.
“Sini lihat baik - baik.”
Kugeser kursi hingga bersebelahan dengan kursi mama. Mama meletakan kertas di meja. Kulihat mama telah mengisi kolom sesi tiap hari. Rata - rata kolom isinya antara dualima hingga empat puluh milimiter. Namun kolom jumlah total per harinya ternyata belum mama isi.
“Mah, gimana kalau Yusup tambahin jumlah yang keluar tiap hari?”
“Iya boleh aja.”
Aku bangkit, mengambil kalkulator dan kembali duduk di samping mama. Aku mulai memakai kalkulator. Kutambahkan jumlah sesi perhari hingga enam atau tujuh sesi. Kutambahkan juga angka di setiap kolom. Kini tiap total per harian beda - beda tipis antara lima hingga sepuluh mililiter.
“Menarik nih,” kataku.
“Apa yang menarik?”
“Coba perhatikan. Total jumlah per hari tak beda jauh. Jadi jika kita lupa nyatet, bisa kita perkirakan rata - ratanya.
Mama tersenyum, “oh gitu. Jadi maksudmu kamu mau kayak tadi lagi tanpa perlu ngukur - ngukur lagi, gitu?”
Aku tersipu mendengar kesimpulan mama.
“Bukan gitu mah,” maksudku jujur. “Yusup hanya bicara berdasarkan fakta. Bukan katanya, katanya, katanya. Di sini fakta hukum yang berbicara.”
“Alah bicaramu, bawa - bawa hukum segala. Jadi kamu pikir kita gak perlu bisa lakuin seharian tanpa kumpulin sampel?”
“Eh, ng.. maksud yusup gak perlu terlalu sering sih. Kadang - kadang aja hingga dokter dapat catatan dan bisa menyimpulkan apa yang terjadi. Lagian, bisa aja kita melakukannya diluar rata - rata.”
“Terserah kamulah,” jawab mama. Wajahnya kini berubah. Entah apa yang mama pikirkan. Kusadari mama tersenyum, “gini aja. Kita gak usah kumpulin sampel hari ini. Kamu udah bikin mama terangsang sejak pagi. Sekarang, biar mama bantu kamu keluar sealami mungkin. Asal,” mama berhenti bicara lalu menatapku.
Aku menelan ludah. Tak percaya tapi ini terjadi. Mama nanya, duduk di kursi makan. Kontolku jadi gerak - gerak. Mama tentu saja melihatnya. Akhirnya aku mengangguk karena tak tahu apa yang harus kukatakan.
“Liat tuh, kontol kamu aja ngangguk setuju,” kata mama sambil tertawa. “Ke kamar mama yuk.”
Mama berdiri, aku berdiri. Eh kontolku ikut berdiri. Mama melihat dan tertawa lagi. “Buka aja kancingnya.” Mama lantas membuka kancingku hingga lepas, “nah, biar gini aja. Yuk.”
Mama berjalan dan aku mengikuti dari belakang. Tangan mama ke belakang dan langsung memegang kontolku. Menariknya.
Persetan dengan catat - mencatat. Aku bagai kambing yang dicocok hidungnya. Namun kali ini, mama menarikku untuk ngentot. Kontolku ditarik sepanjang jalan, naik tangga hingga sampai ke kamar mama. Baru setelah itu dilepas.
Kamar mama lebih besar dari kamarku. Ranjangnya apalagi. Juga ada kamar mandinya. Disekat dengan pintu geser bercermin. Di tembok bagian atas ranjang juga terdapat cermin besar. Di kamar mama memang banyak cerminnya. Di lantainya juga dipasang karpet. Entah untuk apa aku tak pernah tahu. Kamar mandinya, tentu lebih wah dibanding kamar mandiku.
Begitu sampai kamar, mama menutup pintunya. “Duduk di kasur!” perintah mama.
Aku duduk di tempat yang ditunjuk mama. Di hadapanku terdapat lemari yang memiliki cermin hingga dapat kulihat tubuhku. Mama lantas berdiri menghadapku, membelakangi cemin lemari.
Karena kita telah coba pelbagai cara buat kumpulin sampel, sekarang pake cara alami saja. Herbal. Siapa tahu sakitmu bisa hilang. Kita ngentot aja seharian. Kamu suka ide mama gak?”
“Biar Yusup pikirkan dulu,” aku menunduk, memegang kepala seolah sedang berpikir. “Tentu saja yusup suka mah.”
“Kamu juga mesti ngomong kasar, sekasar - kasarnya, bagaikan tiada lagi yang lebih kasar dari ucapanmu. Coba sekarang kamu bilang ingin ngentot mama.”
“Yusup ingin ngentot mama,” aku menurut.
“Lebih kenceng,” desak mama.
“Yusup ingin ngentot mama,” suaraku lebih keras.
“Yang tegas dong. Kamu kok lembek gitu sih,” mama mulai keras.
“Diam lu, gw entot tau rasa lo!”
“Bagus…! Kamu juga boleh panggil mama apa aja sesukamu. Gak usah sungkan. Pasti kamu bakal merasakan kenikmatan tersendiri. Percaya deh sama mama. Sekarang coba.”
Aku menelan ludah mendengarnya. Antara senang dan bingung. Memikirkan panggilan untuk mama.
“Mama jal… jalang,” aku menelan ludah lagi.
“Bagus. Coba yang lain.”
“Dasar murahan. Lonte pasar. Babi gemuk, wadah kontol,” aku malu mengatakannya, tapi saat kulihat mama, mama begitu bersemangat. Matanya berbinar ria.
“Bagus. Mama memang lonte pasar murahan, lubang kontolmu. Entot babi gemuk ini. Entot juga pantat mama. Kamu mau gak? Papamu dulu juga suka ngentot pantat mama. Kamu mau ha?”
Efeknya edan. Kontolku ngambek ingin pulang ke sarangnya. Nafsuku sudah di ubun - ubun.
Mama melepas daster handuknya. Kini mama benar - benar telanjang. Pentilnya seperti mengeras. “Mama ingin icip - icip kontolmu.” Mama langsung berlutut di hadapanku. Mama menjilati dan mengisap kontolku dengan rakus. Seperti orang yang kelaparan. Testiku juga tak luput dari jilatan dan isapannya.
Aku berbaring. Kepalaku mengarah ke lemari bercermin. Mama lantas menaiki tubuhku. Pantatnya ada di atas wajahku. Dari sini kulihat pemandangan yang luar biasa. Mama mulai menghisap lagi kontolku. Kujilati memek mama sedang tanganku meremas pantat mama. Aku sangat suka aroma memek mama. Kumasukan juga lidahku ke dalamnya dengan selamat.
Mama masih tetap isep kontolku. Kini kucoba menahan agar aku tak cepat keluar. Memek mama penuh liurku hingga basah. Kini pantat mama tak mau diam, terus menggeliat. Inilah surga. Aku tak mampu menahannya lagi, “yusup mau keluar.”
Mama menghentikan mulutnya, “keluarin di mulut mama. Biar mama minum. Tapi, mama ingin kamu liat. Kita ganti posisi dulu.”
Mama bangkit lantas turun dari kasur. Mama berlutut di samping kasur dan lemari bercermin. Aku lantas berdiri di depan cermin. Mama langsung meraih kontolku. Mulutnya terus berusaha agar kontolku memuntahkan peju. Kulihat cermin lemari, di sana mama sedang menyamping menikmati kontolku. Dari samping kulihat susu mama gerak meski sudah kendor.
“Ahhhhh.. AHHHH… AHHHH …” aku keluar, pejuku nyembur dalam mulut mama.
Mama berhasil menelan sebagian, namun pada semburan berikutnya mulai keluar tetesan peju dari sela mulut mama. Hingga beberapa peju itu jatuh membasahi dagu dan susu mama. Setelah kontolku berhenti menyembur, mama mengusapkan lubang kontol ke pipinya. Setelah itu, mama melepas kontol dari genggamannya.
“Enak nak. Mama suka banget rasanya. Tau gak, sehabis mama catet setelah sesi kita sebelumnya, peju yang di gelas selalu mama minum sampai habis.”
Aku terkesima mendengarnya. Benarkah itu? Memang aku tak pernah bertanya tentang peju yang telah ada di gelas ukur. Aku tak peduli sebelumnya. Mendengar ucapan mama, melihat tetesan pejuku di wajah dan tubuh mama, membuat kontolku kembali bergerak - gerak. Mama memperhatikannya. Lantas mama kembali memasukan kontol ke mulutnya.
Akhirnya aku terjatuh, merebahkan diri ke kasur.
“Tambah enak,” mama bangun dan melangkah ke meja disamping kasur. Mama meraih tisu dan menyeka wajah serta tubuhnya dari spermaku. Setelah itu mama buang tisunya. “Tunggu bentar mama mau bersihin tubuh dulu.”
Aku hanya mampu melihat pantat mama bergoyang seiring langkahnya menuju kamar mandi. Sepeminuman teh kemudian, mama muncul sambil tersenyum berseri - seri. Mama lantas membaringkan tubuh di kasur. “Sana bersihin tubuh dulu. Abis itu tiduran sini sama mama.”
Aku bangkit dan melangkah ke kamar mandi mama. “Seksinya pantatmu,” kata mama sambil tertawa. Aku hanya balas tertawa. Aku ingat betapa mama sangat menyukai pantatku.
Kamar mandi mama jelas lebih bagus. Kunyalakan shower. Air lalu membasahiku dari shower yang dipasang di atas. Kusabuni diri hingga bersih. Setelah itu kubalus lagi tubuhku dan mengeringkannya memakai handuk.
Aku kembali ke kamar. Kontolku melambai, padahal aku bukan pria melambai. Kulihat mama melihat kontolku yang melambai, tidak seperti cibay.
“Anak mama udah bersih belum?” kata mama sambil tersenyum nakal menggodaku.
“Jelas dong mah,” aku naik kasur dan duduk di samping mama sambil punggungku bersender ke bantal. Aku menatap tubuh mama. Perutnya seperti tumpah ke pinggiran.
“Kamu boleh elus mama kalau mau sambil kita ngobrol.”
Kuelus perut mama dengan tangan kananku, lalu susunya. Kuremas dan kumainkan pentil mama dengan jempol serta telunjukku. Tanpa bicara, aku menundukan kepala dan menghisap pentil itu.
“Oh… bagus nak.”
Memang kontolku masih lemas, tapi tetep nikmat rasanya menyentuh mama. Elusan tanganku kembali ke perutnya. Lalu turun ke memeknya. Aku menatap mama menunggu anggukan setuju.
“Ayo mainkan jarimu di memek mama,” mama menimpali tatapanku, lantas menutup matanya menikmati sentuhanku. Kugerakan jari tengah di belahan memek mama. Pelan - pelan kutekan diantara gerakan itu.
“Oh…” kata mama disela tekanan jari tengaku di memeknya. “Terus nak, nikmat.” Aku memang tak berniat berhenti. “Coba tambah satu atau dua jari lagi nak.” Kutambahkan telunjuk, kini dua jariku berusaha masuk memek mama dan mengobelnya.
Aku jadi malu, meski telah beberapa kali melihat film porno, ternyata masih harus dipandu oleh mama.
“Ahhh… Ohhhh…,” teriak mama.
Kupercepat tempo jemariku. Pinggul mama kini mulai bergerak naik turun. Seseruput teh kemudian mama berteriak dan tubuhnya bergetar. Aku merasa jemariku basah. Kurasa mama keluar, meski sebelumnya aku tak pernah tahu bagaimana wanita keluar.
Mama tetap berbaring sambil menutup mata selama beberapa saat. “Makasih nak. Mama memang ingin keluar.” Mama lantas membuka matanya, “Abis ini mama pingin keluar pake kontolmu,” kata mama sambil menatap kontolku yang masih lemas.
“Kamu mau kopi nak? Mama bikin dulu yah, ntar mama bawa ke sini.”
Aku mengangguk setuju. Mama bangkit, memakai daster handuknya lagi dan berkata, “mama gakkan lama,” lantas keluar kamar.
***
Aku merasakan sentuhan di tanganku. Aku berguling dan membuka mata. Aku lantas sadar, sepertinya aku tertidur di kamar mama dan sudah berselimut. Mama sedang berdiri di sisi kasur, tangannya memegang cangkir.
“Bangun sayang.”
“Eh maaf mah. Yusup lama gak tidurnya?”
“Lebih dari satu jam. Saat mama datang kamu udah tidur. Mama gak ingin ganggu kamu, jadi mama biarkan kamu istirahat. Akhirnya mama keluar terus nelpon Wa Yani.
“Nih kopimu, biar segar,” kata mama sambil menyodorkan cangkir.
Aku duduk lantas menerima cangkir. Tubuhku masih berbalut selimut dari pinggah ke bawah. Mama duduk di kasur menghadapku, masih memakai daster handuk. Kuteguk kopi, nikmat. Kopiku kental. Laguku Sinatra, cewekku mama.
“Wa Yani titip salam untukmu.”
“Emang mama ngobrolin apa sama Wa Yani?”
“Kamu lupa ya, mama kan selalu ngobrol sama Wa Yani tiap libur. Biasalah.”
Wa Yani merupakan kakak mama. Tinggal di pesisir pantai. Kadang suka berkunjung ke rumah. Kini Wa Yani tinggal sendirian setelah suaminya meninggal karena jantung koroner. Wa Yani tak memiliki anak. Setelah kepergian suaminya, sudah beberapa kali mama bujuk agar tinggal dengan kami, namun selalu ditolaknya.
“Apa mama udah… udah cerita kondisi Yusup ke Uwak?”
Mama menatapku sebentar, “tentu mama bilang kamu punya masalah kesetahan, tapi gak mama ceritain detailnya. Mama hanya bilang udah bawa kamu ke dokter.”
“Bagus mah. Kalau lebih detail lagi kan Yusup malu.”
“Kok malu. Kamu kan udah deket sama uwakmu. Mama yakin Uwakmu sangat peduli sama kamu dan ingin kamu sembuh.”
Kuputuskan untuk tak memanjangkan pembicaraan tentang Wak Yani. Tak terasa kopiku habis. Kutaruh cangkir di meja samping kasur. Mama tersenyum padaku, genit. “Gimana sekarang, udah seger lagi?”
“Iya mah, seger buger. Bener - bener ber suasanaseger.” Namun biasa, testisku kembali berkedut - kedut agak sakit, seolah meminta dikeluarkan isinya. “Kayaknya mesti keluar lagi nih mah.”
Mama tersenyum lantas menarik selimut biru tua, setua mama, yang menutupi tubuhku dengan pelan. Hingga nampaklah kontolku. Mama mengelus kontolku dengan jemarinya. “Cakep banget nak. Mama gak bosen memandangnya. Kita lihat apa yang mesti kita lakukan agar kamu keluar lagi dan lagi.”
Mama lantas berdiri dan menatapku. Tatapannya beda dengan saat sedang membicarakan Uwak Yeni, yang menatapku penuh dengan keibuan. Kini tatapan mama seperti tatapan binatang kelaparan yang memandang mangsanya. Tangan mama memegang pinggul dan susu mama. Mama lantas berbalik menunjukan pantatnya padaku.
“Kamu suka nak?” goda mama. Lantas mama berbalik lagi. Aku melihat mama mulai bernafsu.
“Pasti mah, pasti.”
“Mama jalan - jalan dulu di kamar ini biar kamu lihat sepuasnya. Kamu suka liat pantat tubuh mama kalau lagi jalan kan. Tapi sebelumnya, kamu harus melakukan sesuatu.”
“Lakuin apa mah?”
Mama mengambil lipstik dan melemparkan padaku. “Tulis sesuatu di pantat mama!”
Aku menelan ludah.
“Er… ok… apa?” Kontolku semakin sulit kukontrol.
“Duduk di sini biar mudah nulisnya.”
Aku meraih lipstik dan bergeser lalu duduk di pinggir kasur sementara mama berdiri membelakangiku. Pantatnya menantangku. Kuremas - remas pantatnya, juga kucium dan kujilati. Kuusapkan wajahku ke pantat mama. Mama tertawa kesenangan.
“Pantat mama seksi banget sih…” kataku puas. “Oke mah, Yusup mesti nulis apa?”
“Tulis huruf besar, di pantat kiri mama tulis ‘lon’ dan di pantat kanan mama tuli ‘te.‘”
Gila, mama yang selama ini kukenal kuna, bahkan terkesan alim, ternyata sangat binal. Kupegang lipstik dan mulai menulis huruf yang mama suruh. Kutulis besar - besar hingga jelas.
“Selesai,” kataku. “Pantat mama jadi makin seksi.”
“Oh ya,” kata mama lantas menggoyankan pantatnya.
Mama berbalik hingga membelakangi lemari cemin. Kini mama memalingkan wajah melihat cermin. “Bagus,” katanya sambil menatap cermin. “Mama dulu suka gini sama papa. Papamu benar - benar langsung terangsang.” Mama lantas melihat kontolku yang sedang berdiri sopan hormat pada mama. Mama membungkuk lantas mencium kontolku.
Setelah puas, mama menghentikan aksinya lantas menatapku lagi. “Mama ingin kamu ngomong kotor lagi.”
Mama lantas berjalan - jalan di kamar, tangannya memegang pinggul. Susunya naik turun. Saat melangkah menjauh, aku baca ‘LONTE’ di pantatnya.
“Gimana nak?”
“Meski cuma liat lonte murahan, tapi tetep merangsang.”
“Mau nyobain lonte murahan ini gak?”
“Tentu.”
“Mau ngentot kayak anjing?”
“Bener.”
“Ngomong dong!”
“Yusup ingin ngentot lonte.”
“Emangnya mama lonte?”
“Lu memang lonte murahan tukang minum peju, lebih rendah dari anjing kampung.”
“Bagus nak.”
“Biar lontemu minum pejumu lagi. Sodok lontemu dari belakang.”
Mama mendekati kursi, mengangkat satu kaki dan menaruhnya di kursi. Mama menatapku sedang tangannya bermain di memeknya. Kadang dimainkan juga anus mama dengan jarinya itu. Mama lantas menarik kedua bibir tembem yang menutupi memeknya hingga bisa kulihat memeknya dengan jelas.
Aku berdiri dan mendekati mama. Aku berlutut di belakang mama dan mulai menjilati pantat mama dari belakang. Mama lantas bergerak dan duduk di kursi. Mama lantas meraih kontolku dan kembali menghisapnya.
Tak mau diam, kuelus dan kuremas susu mama. Setelah beberapa saat, mama melepas kontolku, “entot susu mama!”
Mama memegang susu dan kuselipkan kontol ke susunya. Tak lama karena aku tak ingin keluar sekarang. “Cukup. Gw mau entot lu sekarang juga,” kataku.
Aku mundur. Mama berdiri lantas ke kasur. Mama lantas nungging sambil wajahnya menghadap cermin. “Ayo cepet!”
“Lu mau ngentot sambil liat? Cuih,” kataku namun tidak sampai mengeluarkan ludah, “bener - bener lonte murahan.”
Aku naik ke kasur dan berlutut di belakang mama. Kulebarkan pantat mama dan kumasukan kontol ke memeknya. Perlahan hingga setengah kontolku masuk kudiamkan. Kurasakan memek mama seperti memijit dan atau mencengkram. Kudorong lagi hingga mentok.
Langsung kusodok memek mama dari belakang. “Lu suka hah. Lu suka gw entot hah?”
“Iya, oh… oh…”
Kulihat cermin sedang mencerminkan perbuatanku dan mama. Kutarik rambut mama hingga wajahnya seperti menatap cermin. “Liat tuh babi gendut lagi ngentot.”
“Ahh.. ayhhh iya…” kulihat wajah mama sedang kenikmatan.
Setelah beberapa saat, kurasakan akan segera keluar. “Nih rasain nih peju gw!” Semburanku menyembur di memeknya.
Mama ikut berteriak, tubuhnya mengejang hingga akhirnya mama ambruk. Aku mendesah nikmat bersama mama. “Lu suka hah? Jawab babi!”
“Iya,” jawab mama senang.
***
Kami menghabiskan waktu di kamar mama. Ngentot dalam pelbagai posisi. Saat mama diatas, kuliahat susu mama goyang - goyang takkaruan. Kuhitung sepertinya aku empat kali keluar. Pernah ketika mama nungging di lantai dengan tangan dan lututnya menyentuh lantai. Kubuka lebar pantat mama lantas kujilati.
Mama mengerang. Erangan mama menyiratkan kenikmatan yang begitu dalam. Aku jadi ingin menggantika jari dengan kontolku. Namun masih bisa kutahan. Belum saatnya, pikirku. Meski kulihat mama sangat menikmati jariku di anusnya.
Tentu saja kami tak pedulikan gelas ukur. Mama selalu menelan pejuku atau kusemprotkan di memek mama. Aku sangat senang melihat pejuku menetes keluar dari memek mama.
***
Malam pun tiba. Mama mengingatkan kalau esok kita ada janji sama dolter Tari.
“Ingat juga, kamu gak boleh kasih tahu dokter seberapa jauh kita melangkah agar kamu keluar.”
Aku mengangguk setuju. Aku tahu hubunganku dengan mama bukan untuk konsumsi publik. Apalagi aku bukan public figure. Setelah makan, kami ngobrol sebentar hingga malam.
Aku memakai boxer dan sporthem lainnya. Mama memakai kaos dan celana pendek. Belahan lehernya pendek hingga dapat kulihat belahan susunya. Pentilnya tercetak jelas. Sejak kemarin, mama telah begitu banyak membantuku keluar. Namun esok, mama mesti kerja. Aku tak tahu apa yang akan mama lakukan.
“Mah, mulai esok, Yusup mesti ngapain kalau sendirian nunggu mama pulang kerja?”
“Iya, mama juga bingung. Mama kan kerja. Kamu juga kuliah. Biar kita tanya dokter besok. Gimana sekarang, masih sakit gak?”
“Udah gak begitu sakit mah. Mungkin karena mulai teratur keluar.”
“Besok sebelum mama kerja, kita lakukan satu sesi. Terus ambil sampel seperti biasa. Hari ini gak ambil sampel karena merupakan pengecualian,” kata mama lantas tersenyum.
Aku mulai mengantuk. Mama memandangku. “Waktunya tidur nak. Mau keluar dulu sebelum tidur?”
Kantukku serasa hilang. Aku mengangguk.
“Kamu mau ngapain sekarang?”
“Yusup ingin pantat dan memek mama dong.”
Mama berdiri di depanku.
“Lakukan apa yang kamu suka.”
Aku mengelus memek mama dengan jemariku beberapa kali. Bahan celana mama yang tipis membuatku bisa merasakan jembutnya. Mama mulai mengerang pelan. “Muter boleh mah,” kataku.
“Ngomongmu terlalu sopan sayang. Kamu mesti ngomong kasar kalau mau. Ayo ngomong.”
Aku menatap mama sebentar.
“Muter, gw mau liat pantat babi gemuk ini.”
“Nah, gitu dong,” jawab mama. Mama langsung berputar. Lantas kuusap pantat mama. Kuraba dan kuremas. Lantas kuturunkan celana mama.
“Pantat babi emang montok.”
Mama tak berkata. Saat celana mama akan kutarik, mama mengangkat kakinya hingga celana itu lepas. Mama kini hanya memakai baju. Lantas mama menggoyangkan pantat menggodaku. Aku berdiri dan mengelus - elus kontol ke pantat mama. Kuelus kontol mengikut belahan pantat mama hingga menekan ke dalam.
“Lu jalan ke kamar tanpa lepasin gw. Ntar gw kasih peju buat lu minum. Ngerti lu babi?”
“Iya,” jawab mama.
Mama mulai berjalan perlahan agar kontolku tak lepas. Aku mengikuti dari belakang. Di tangga, mama mulai naik perlahan juga, membuatku makin tak tahan. Kutampar lagi pantat mama dengan tanganku saat mama dua langkah di atasku.
Sampai di atas, mama berjalan ke kamarku lalu duduk di kasur. Aku berdiri di hadapannya. Mama lantas menjilati dan menghisap kontolku.
“Oh…“aku mengerang menikmati mulut mama. “Mulut babi gendut memang enak.”
Mama memakai tangan untuk membantu mulutnya. Tangan mama mulai mengelus testisku dan meremasnya pelan. Tangan kananku kuturunkan mencoba mencapai susunya lalu kumainkan.
Mama berhenti sejenak, “ayo, ngomon kasar lagi nak. Kamu tau mama suka kan?” lantas mama melanjutkan.
“Oh, terus… Mulut babi gendut memang enak,” kuikuti keinginan mama. “Isep terus… Lu suka kan hah? Jawab lonte.”
“Iya, suka.”
“Suka apa hah, yang bener kalau ngomong!”
“Babi gendu ini suka isep kontol…”
Kuraih kepala mama dan mulai mengocoknya. Kukocok dan kutekan sedalam mungkin. Tangan mama kini mulai memegang paha dan menahannya. Mungkin sudah terlalu mentok. Namun aku tak pedulu. Kupercepat kocokan seiring semakin dekat aku keluar. Akhirnya kutekan dan kudorong kuat - kuat kontolku. Kumuntahkan di mulut mamah.
“Nih peju gw makan. Biar makin gendut! Ohhhhhhh… ahhhh…”
Peganganku di kepalanya membuat mama menelan semua pejuku. Setelah habis, kulepas dan mama langsung menjilatinya hingga bersih.
“Pejumu nikmat.” Mama lantas menjilati bibirnya agak lama. “Sekarang waktunya kamu tidur. Besok kita kumpulin sampel lagi.
Aku mengangguk dan tersenyum ke mama.
Mama berdiri, mencium pipiku, “malam sayang.” Lantas berbalik dan keluar kamarku. Aku langsung tidur.
Bersambung..